Without Words [8]

 

Title : Without Words [8]

Author : Yuridista

Genre : Friendship, slightly romance and yaoi

Pairing : YunJae

Rating : AA-PG

BGM : Living Like A Dream-Kim Jaejoong (Dr.Jin OST) & Love Is Crying-K.Will (King 2 Hearts OST)

Note : Previous part is here.

***

Yunho merasa jantungnya telah melompat keluar dari tempatnya ketika dia mendengar seseorang memutar kenop pintu kamar mandi tempatnya dan Jaejoong bersembunyi, hingga dia tak bisa menjelaskan apa yang dirasakannya ketika tahu bahwa seseorang itu adalah Changmin—yang telah menyalakan lampu dan kini tengah menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya.

“Hyung?” tanya Changmin, “apa yang kau lakukan?”

Yunho menelan ludah, jelas gugup luar biasa. Mulutnya membuka ingin menjawab, tapi kemudian menutup lagi ketika dia sadar dia tak tahu harus menjawab apa.

Changmin mengerutkan keningnya. “Apa wajahku kelihatan separah itu?” sahutnya seraya berjalan mendekati Yunho yang kini tampak mengerut di tempatnya duduk.

“Eh? Ap-apa?” Yunho berujar tergagap-gagap. Diam-diam dia melirik ke kiri, ke tempat di mana Jaejoong menyembunyikan dirinya di lekukan tembok tempat sebuah cermin bundar besar digantungkan. Changmin pasti akan melihatnya, batinnya penuh kengerian.

“Kutanya, apa wajahku benar-benar kelihatan parah?” tanya Changmin lagi. Kini jaraknya dengan Yunho sudah semakin dekat. “Dan Demi Tuhan,” dia melanjutkan, “aku masih tidak mengerti kenapa kau duduk di pojokan sendiri…

…an.” dia menyelesaikan kalimatnya tepat ketika berada di hadapan Yunho dan wajahnya langsung berubah pias ketika dilihatnya Jaejoong duduk meringkuk di balik punggung Yunho, tak sedikitpun berani mengangkat wajah untuk memandangnya.

“J-jae…hyung?” bisik Changmin, seolah tak percaya dengan pemandangan yang sedang dilihatnya.

“Changmin-ah…” Yunho berkata dengan suara pelan, tetapi sepertinya Changmin samasekali tidak bisa mendengar suaranya.

Changmin kini sudah berjongkok di hadapan Jae yang masih menolak memandangnya. “H-hyung? K-kau… Bagaimana—”

Yunho menghela nafas, kemudian tangannya terangkat untuk menyentuh bahu Changmin. “Changmin, dengarkan aku—”

“Ini benar kau?” potong Changmin cepat-cepat, tetapi kata-katanya masih ditujukan hanya untuk Jaejoong.

Jae mendongak ragu-ragu, memperlihatkan sepasang matanya yang tampak sedih sekaligus terluka. Dan ketika kini dia menatap Changmin, sorot mata itu berubah menjadi penuh kerinduan…dan penyesalan. “Maafkan aku…” Jae berkata dengan suara serak.

“Tunggu dulu,” Changmin berujar seraya mengangkat kedua tangannya. “Aku butuh penjelasan kenapa kau bisa ada di sini bersama Yunho-hyung. Sekarang.”

“A-aku…” Jaejoong memulai dengan takut-takut.

“Biar aku saja yang menjelaskan padanya,” sela Yunho seraya meremas lembut tangan Jaejoong yang dingin luar biasa. “Changmin-ah, dia datang kemari untuk menemuiku,” kata Yunho ketika dia sudah berpaling untuk menatap Changmin.

Lelaki yang lebih muda darinya itu mengerutkan keningnya. “Tidak masuk akal. Bagaimana bisa dia datang ke sini tanpa ketahuan oleh orang-orang di luar sana?” tanyanya tak percaya.

Yunho mendesah, kemudian menunjuk tumpukan barang yang terdiri atas jaket, topi, kacamata, dan sebuah kotak pizza yang kini tergeletak di dekat kaki Jaejoong. “Dengan menyamar jadi tukang pizza, tentu saja,” katanya, tak berusaha menutupi nada sarkastik dalam suaranya.

Changmin melongo, lalu tiba-tiba saja tawanya meledak tanpa bisa dicegah. “Ya ampun, pengantar pizza?” ejeknya di sela tawanya.

Jaejoong memberengut, tampak tersinggung, tapi toh tak mengatakan apa-apa. Lagipula, sejujurnya dia memang mengakui kalau dia tak pernah becus dalam hal menyamar. Seorang Kim Jaejoong sudah terlalu terbiasa menjadi pusat perhatian, dan itu membuatnya lupa bagaimana caranya untuk menyembunyikan diri tanpa harus terlihat seperti seorang pencuri yang sedang dikejar-kejar polisi.

“Jadi, ini penyamaran yang gagal, ya?” Changmin menambahkan seraya menyeringai lebar kepada Jaejoong.

“Secara keseluruhan, sih, memang iya,” Yunho menjawab, tampak jauh lebih rileks daripada sebelumnya. “Aku tidak tahu akan jadi apa dia kalau tidak ada aku yang menyelamatkannya tadi.”

“O-ho, kau jadi pahlawan lagi kali ini, Hyung?” komentar Changmin seraya menepuk pelan bahu Yunho.

Yunho terkekeh. “Bisa dibilang begitu juga, bocah,” katanya sambil nyengir.

“Jangan panggil aku bocah, Hyung!” Changmin membentak jengkel.

Yunho tertawa lagi, tapi langsung meringis kesakitan ketika sebuah jitakan mendarat di kepalanya.

“Dasar kalian berdua ini, bocah-bocah berkaki panjang,” omel Jaejoong gemas.

Changmin memajukan bibir bawahnya, ciri khasnya setiap kali diomeli oleh Jaejoong dan sedang memikirkan kata-kata apa yang pantas diucapkannya untuk membalas lelaki yang lebih tua darinya itu. “Dasar laki-laki cantik cerewet,” gumamnya sambil mendelik ke arah Jaejoong.

“Kau bilang apa tadi, heh?” Jaejoong buru-buru menyahut dengan tatapan curiga terarah kepada Changmin.

“Ah, tidak, kok,” Changmin mengelak sambil meringis.

“Ya ampun, cukup, deh. Bisa tidak kita kembali ke pokok pembicaraan awal?” Yunho berkata tak sabar.

“Tunggu dulu. Memangnya tadi kita sedang membicarakan apa, ya?” tanya Changmin seraya menggaruk kepalanya dengan tampang bodoh.

“Astaga, Shim Changmin!” Jaejoong dan Yunho berteriak bersamaan.

***

“Apa yang sedang kau pikirkan?” Jaejoong bertanya setelah menyesap cappucino dalam gelas kertas di tangannya sambil menoleh ke arah Yunho.

“Menurutmu apa?” Yunho balik bertanya, memiringkan kepalanya untuk memandang Jaejoong.

Jae memajukan bibir bawahnya, tampak berpikir-pikir. “Kita?”

“Kita?” Yunho mengulangi, mengangkat sedikit ujung bibirnya.

Jae mengangguk. “Tentang bagaimana kita akhirnya bisa berakhir di sini. Berdua saja… Seperti dulu…”

“Berterimakasihlah kepada Changmin karena sudah berhasil membuat kita kabur tanpa ketahuan oleh orang-orang manajemen. Kali ini kita berhutang banyak padanya,” Yunho berujar pelan.

“Bukankah sejak dulu kita memang sudah berhutang banyak padanya?” sahut Jae, “Dengan menjadi dinding pembatas di antara kita selama enam tahun, ingat?”

Yunho tertawa kecil. “Kau benar. Kita sudah membuatnya menderita terlalu banyak selama ini.”

“Apa sekarang dia sudah tidak menderita lagi, Yunho-ya? Apa kau menjaganya dengan baik?” tanya Jaejoong sungguh-sungguh.

Yunho tertegun. “Aku…tidak tahu, Jae. Kupikir, justru dialah yang sebenarnya sedang menjagaku. Dia tumbuh menjadi laki-laki yang kuat, jauh lebih kuat daripada aku,” jawabnya setelah jeda beberapa saat.

“Kau memang lelaki tua yang manja, Jung Yunho,” komentar Jae setengah bercanda.

Yunho memutar matanya. “Kau yang membuatku begini,” balasnya tak mau kalah.

“Dan kau membiarkanku melakukannya. Salah siapa itu kalau begitu?” Jae menukas sambil menyeringai lebar.

Yunho memberengut, sadar kalau dia memang tak pernah bisa menang jika sedang adu mulut melawan Jae.

“Yunho-ya…” panggil Jae kemudian.

Yunho menoleh. “Hmmm?”

Jaejoong menelan ludah. “Apa—apa kita…sudah tidak bisa kembali seperti dulu lagi?” tanyanya dengan suara kecil.

Pertanyaan Jae langsung membuat ekspresi wajah Yunho berubah. Wajah itu menyiratkan kegetiran yang samar sekarang, meski pemiliknya berusaha keras untuk menutupinya dengan senyum. “Apa maksudmu, Jae?”

“Err—yah, kau tahu, kita berlima… Bernyanyi bersama lagi, bersatu lagi, menjadi keluarga lagi…”

“Bukan aku yang memutuskan untuk pergi, Jae,” Yunho menyela dengan nada pahit.

Mata Jae terbelalak mendengar nada bicara Yunho yang dingin. “Tapi kau tahu kenapa aku melakukannya. Aku sudah menjelaskannya padamu jauh sebelum aku bilang pada Yoochun, Junsu, dan Changmin. Kau yang tidak bisa memahamiku,” tukasnya defensif.

Yunho menggeleng. “Aku paham, tapi bukan berarti aku harus ikut juga denganmu, kan?” ujarnya letih. “Kita hanya berbeda pendapat, dan untuk itu kita harus mau menanggung resiko masing-masing.”

“Tapi—”

“Cukup, Jae. Aku tidak mau berdebat soal ini lagi denganmu. Ini sudah lebih dari dua tahun. Aku tidak mau usahaku untuk bangkit lagi jadi sia-sia karena terus-menerus dihantui oleh masalah ini,” Yunho berkata, menatap kedua mata Jaejoong dalam-dalam.

“Jadi kau memilih untuk melupakan kami bertiga, ya? Begitu, kan, maksudnya?” tukas Jae dengan nada tajam.

Yunho menggeleng lagi. “Bukan. Kau salah. Aku hanya memilih untuk mempertahankan DBSK. Itu saja.”

Kali ini, ganti Jaejoong yang tertegun. “Aku benci berpisah denganmu seperti ini,” ujarnya pelan sambil memain-mainkan liontin kalung di lehernya.

“Sama,” Yunho menimpali. “Tapi bukankah itu memang bagian dari resiko pilihan kita?”

Jae mengangkat alis. “Maksudmu?”

Yunho mendesah, kemudian berpaling lagi untuk memandang Jae. “Jalan kita sekarang sudah berbeda, Jae,” ucapnya.

Mulut Jae menganga, mulai paham ke mana arah pembicaraan ini akan berakhir. “Y-yunho-ya… Jangan bilang—”

Yunho mengangguk, kemudian bangkit berdiri dari bangku kayu yang didudukinya barusan. Diletakkannya gelas kertas berisi americano yang sejak tadi belum sempat diminumnya sama sekali sebelum berujar, “Jangan temui aku lagi seperti hari ini, Jae. Itu sangat berbahaya.”

Jae ikut berdiri, merasakan kedua matanya mulai memanas. “T-tapi—”

“Dan Jae,” Yunho menambahkan, “selamat tinggal. Jaga dirimu baik-baik.”

Kemudian lelaki itu benar-benar beranjak pergi, meninggalkan Jaejoong yang kini sudah jatuh terduduk di tanah—terisak-isak sendirian.

 

DING!

5 pemikiran pada “Without Words [8]

  1. Daebak sis !!!

    Btw part yg ini udah ending y *hoping=alibi

    kyaaaa susaaaahhh bwt lanjutannyaaaaa TT *Nangis di pojokan

    msih niat dlanjutin oen? *lemes

  2. oke, ini nyesek di bagian akhir… T___T

    jae ini kayaknya di tiap yunjae, pasti selalu dia jadi yang ‘rapuh’nya. padahal kadang2 aku jadi pengen tau juga gimana kalo jae itu yang lebih keras hati dan lebih tegar. šŸ˜›

    1. *ikutan nyesek bareng unnie* *ikutan mewek bareng jae*
      hmmm. iya juga yaa unn. aku juga nemunya begitu terus. tapi kalo menurut aku yunho sebenernya juga rapuh, cuman yaa itu disimpen sendiri tipenya. kalo jae kan lebih let it out gitu yaa, di kehidupan nyata juga begitu. seneng curhat dll. jadilah aku pake point of viewku ttg dia yg begitu deh di sini.

Tinggalkan komentar