Kembali

BGM : I Told You I Wanna Die-Huh Gak

“Kau hanya punya waktu satu jam sebelum kematian Ardine, Giles,” Deacon, sang penyampai pesan, berkata dengan suaranya yang serak dan dalam. Dia memandang tajam ke arah pemuda bernama Giles yang kini terduduk lemah di dekat kakinya, sibuk menangisi tubuh diam milik kekasihnya, Ardine.

Giles mendongak menatap Deacon dengan matanya yang sembab. “Apa aku punya pilihan?” tanyanya lemah. Dia tahu, tak seharusnya dia meratapi tubuh tak berdaya Ardine di saat dia masih bisa membuatnya bangun lagi. Tapi begitu mendengar pesan yang disampaikan Deacon barusan—bahwa gadis di hadapannya ini hanya tinggal punya waktu satu jam sebelum kematian datang padanya, rasanya dia sudah tak sanggup lagi untuk sekedar menghirup nafas tanpa merasa tercekat. Rasanya, kematian bersama Ardine akan jauh lebih baik baginya ketimbang harus hidup dalam kehampaan selamanya.

“Temukan ambrosia,” Deacon berujar, “atau kau harus melihat Ardine diambil darimu satu jam lagi. Hanya itu pilihan yang kau punya.”

“Ambrosia?” Giles menggumam, menatap Deacon tak mengerti. “Bukankah itu adalah sumber keabadian para dewa?”

Deacon mengangguk sekali. “Kau benar. Dengan memakan ambrosia, nyawa Ardine akan terselamatkan. Dia akan menjadi abadi seperti para dewa.”

Mata Giles mengerjap, harapan mulai merambati hatinya. “Lalu di mana aku bisa menemukannya?”

“Di bumi,” Deacon menjawab, “manusia memeliharanya untuk kita. Kau bisa mengambilnya tanpa terlihat oleh mereka. Tapi—”

“Tapi apa?” Giles menyela, pikirannya mulai berkabut lagi.

“Tapi kalau kau tak bisa kembali ke langit dalam satu jam, kau harus selamanya berada di bumi. Raja Langit akan menghukummu menjadi manusia. Apa kau megerti, Giles?”

Giles menelan ludah. “Aku…mengerti,” ujarnya pelan.

“Kalau begitu pergilah. Waktumu tak banyak lagi,” perintah Deacon kemudian.

Giles mengalihkan pandangannya kepada wajah pualam Ardine sejenak sebelum mengangguk dan berujar, “Baiklah.”

***

Hampir satu jam kemudian, di bumi…

Giles melangkah buru-buru dengan ambrosia untuk Ardine berada dalam genggamannya. Senyum tipis terkembang di wajahnya, teringat bahwa sebentar lagi Ardine akan selamat setelah memakan ambrosia yang dibawakannya untuk gadis itu. Dia, sang pelindung, memang teramat mencintai Ardine—wanita yang tubuhnya lemah sejak lahir, wanita yang terlahir untuk dia lindungi.

Mengingat wajah Ardine semakin membuat langkah Giles menuju tangga langit ringan dan cepat. Namun, entah kenapa, detik itu juga dia merasakan dadanya sakit dan jantungnya berdetak terlalu keras. Langkahnya melambat. Nafasnya tersengal. Pandangannya kabur. Giles mencengkeram dadanya kuat-kuat. Dia tahu, satu jam yang dimilikinya sudah terlewat. Dia sudah terlambat. “Ardine…maafkan aku,” bisiknya.

Kemudian, sang pelindung itu tumbang.

***

Pemuda itu tampan, tinggi, dan selalu tersenyum pada setiap orang yang ditemuinya. Semua itu, ditambah dengan wajahnya yang selalu tampak bercahaya, sebenarnya membuatnya kelihatan terlalu sempurna sebagai manusia. Ya, pemuda itu adalah Giles, sang pelindung dari langit yang kini telah mengganti namanya menjadi George—hanya untuk membuatnya terlihat lebih manusiawi.

Meski begitu, sampai sekarang pun hatinya masih berlubang. Dia tak bisa lagi jatuh cinta. Karena cintanya, sejak awal dan selamanya, hanyalah milik…

Bruk!

“Ups. Maaf,” Giles menggumam, lagi-lagi menabrak orang setelah melanturkan pikirannya kemana-mana. Dia mendongak, dan kaget luar biasa saat bertemu pandang dengan sepasang mata coklat keemasan di hadapannya. Gadis itu, kan…

“Ardine,” katanya, suaranya tercekat.

Gadis itu, di luar dugaannya, justru tersenyum sangat manis padanya. “Giles, aku kembali untukmu.”

Hanya satu kalimat itu, dan setelahnya, Giles sudah menarik Ardine ke dalam pelukannya—erat dan lama.

***

“Yang Mulia, terimakasih telah memerintahkan Jason—sang penyembuh, untuk menyembuhkan luka di jantung saya. Tapi, izinkan saya meminta satu hal kepada Anda, Yang Mulia,” gadis itu, Ardine, memohon kepada Raja Langit dengan matanya yang berkaca-kaca.

“Apa yang kau inginkan?” tanya Raja Langit.

“Turun ke bumi dan kembali kepada Giles,” jawab Ardine mantap.

Raja Langit menatapnya lama. “Kenapa aku harus mengabulkan permintaanmu, Ardine?”

“Karena,” ujarnya, “takdir saya adalah bersamanya, selamanya, Yang Mulia.”

*word count : 596

Cerita di atas hanya sekedar fiksi belaka, ditulis dalam rangka meramaikan Kontes Flashfiction Ambrosia yang diselenggarakan Dunia Pagi dan Lulabi Penghitam Langit

16 pemikiran pada “Kembali

  1. ketiga buah khuldi bikin Nabi Adam diusir dari surga, malah ambrosia bikin org minta diturunin ke bumi! hehehd…
    trobosan baru! smoga sukses kontesnya! 😉

Tinggalkan komentar